Sineas legendaris Milos
Forman baru saja meninggal dunia, Jumat (13/4) lalu. Pembuat film kelahiran Republik
Ceko ini kondang berkat karyanya One Flew Over the
Cuckoo's Nest (1975) dan Amadeus (1984) yang berjaya di ajang Academy Awards. Cerita ini
bukan tentang pria bernama asli Jan Tomas Forman ini, melainkan sebuah obrolan santai yang kebetulan
menyebut-nyebut namanya.
Ceritanya begini, di masa
lalu Festival Film Indonesia menganut kebijakan unik, mungkin juga antik. Pasalnya, film yang
dibuat oleh warga negara asing ternyata tidak bisa dilombakan dalam festival
ini. Pokoknya dia langsung digugurkan tanpa ampun selama sutradaranya bukan
orang berpaspor hijau. Demikian kira-kira bunyi peraturan yang tercantum dalam
buku putih panitia pelaksana festival.
Tak heran, film seperti Love pun harus layu sebelum berkembang
meskipun banyak mendapat pujian dari kritikus. Adapun penyebabnya film ini
dibuat oleh Kabir Bhatia, sineas Malaysia kelahiran Mumbai, India. Alhasil,
sesuai peraturan panitia, kendati dianggap bagus Love tak bisa diikutsertakan dalam FFI 2008.
Kasus serupa kembali
dialami oleh film Jermal. Disutradarai
oleh trio Rayya Makarim, Ravi Bharwani, dan Utawa Tresno, proyek ini kembali gugur
sebelum bertanding. Belakangan diketahui, Utawa Tresno adalah nama samaran dari
Orlow Seunke, seorang sineas warga negara Belanda. Ironis, kendati film ini
tayang perdana di Busan International Film Festival 2008 ternyata harus kandas
di festival negeri sendiri.
Syahdan, pada suatu siang
Desember 2009 saya datang ke ajang JiFFest di Blitz Megaplex Grand Indonesia.
Dari sekian banyak orang yang hadir, saya melihat Orlow. Langsung saya datangi
dia dan bertanya tentang peristiwa yang dia baru saja alami di FFI ini. Tentu
saja terlontar ungkapan kekecewaannya.
“Gila. Di Hollywood,
sutradara asing boleh kok filmnya ikut Academy Awards. Roland Emmerich yang
bikin 2012 boleh. Bahkan, Milos
Forman bisa menang banyak Piala Oscar,” paparnya dengan nada sedih. Mendengar
penuturan itu saya hanya manggut-manggut. Itu sih murni keputusan panitia yang
terhormat, pikir saya.
Selang beberapa tahun
kemudian kegundahan Orlow seolah didengar oleh para pembuat kebijakan di FFI.
Pada FFI 2015 misalnya, kalau ada film yang sutradaranya orang asing maka film
itu tetap dinilai, kecuali pada kategori sutradaranya sendiri.
Januari 2010.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar