Selasa, 29 Mei 2018
Mendadak Gala Premiere
Awal April 2016, saya dan beberapa rekan diundang untuk meliput acara di sebuah sekolah menengah di kota Sukabumi, Jawa Barat. Hajat tersebut adalah festival film yang pesertanya puluhan pelajar dari sejumlah kota di tanah air. Di sela-sela lomba ada pula workshop penulisan skenario yang pengisi materinya adalah penulis terkenal Salman Aristo.
Selesai memberikan materi kami sempat berbincang-bincang sejenak di ruang kantor kepala sekolah. Topiknya mengalir saja. Tidak jauh dari perkembangan kondisi perfilman tanah air yang sampai saat ini ternyata masih karut marut. Namun yang paling menarik disimak terutama menyangkut pola produksi belakangan ini.
“Seharusnya menarik sih. Saat ini banyak orang yang entah punya duit dari mana, mendadak mengaku produser dan mau bikin film," demikian tutur Aris saat membuka pembicaraan. "Tapi sayangnya dia tidak paham posisinya harus bagaimana.”
“Misalnya bagaimana kejadiannya. Apakah ada juga kasusnya ketika proses penulisan skenario,” sergah seorang rekan dengan rasa penasaran.
“Oke, urusan skenario ya. Ada juga. Jadi kita meeting nih, kemudian kontrak bikin draf 1. Lanjut draf 2, terus draf 3. Nah, habis itu dia menghilang dan sulit dihubungi. Tahu-tahu datang undangan gala premiere. Lah, ini syutingnya kapan ya?” paparnya sambil tertawa pahit.
Kami yang hadir pun turut tertawa mendengar polah rumah produksi yang dimaksud. Ada-ada saja, macam yang nggak niat bikin film. Orang ini serius nggak sih terjun di bisnis hiburan, kok nggak jelas begini, demikian pikir saya.
"Wah, ada juga ya proyek film diperlakukan macam begitu. Film apa sih?" masih pertanyaaan lanjutan dari kawan kami. Tentu saja masih dengan rasa kepo yang semakin meluap-luap.
Namun Aris seperti enggan untuk menjawab dan mengalihkan topik obrolan. Tampaknya dia mempersilakan kami untuk mencari tahu sendiri judul film apa yang dimaksud. Kami mencoba untuk mengerti, karena mungkin saja itu pengalaman pribadi. Maka dari itu tak perlu untuk diungkit kembali.
5 April 2016
Minggu, 20 Mei 2018
Antara Ahmad Dahlan dan Obama
Sang
Pencerah karya sutradara Hanung Bramantyo tidak lolos dalam kurasi
Komite Seleksi FFI tahun 2010. Maka kandaslah harapan film yang
dibintangi aktor Lukman Sardi ini untuk masuk nominasi FFI. Otomatis, kandas pula
harapan untuk mendapatkan Piala Citra.
Tentu saja, keputusan ini
memunculkan sejumlah kontroversi. Sejumlah dewan juri menyatakan mengundurkan
diri. Posisi mereka langsung digantikan oleh anggota Komite Seleksi. Maka
riuhlah suasana pembacaan nominasi yang dilangsungkan di Batam, Kepulauan Riau
itu.
Namun kegundahan Hanung hanya berlangsung sementara. Beberapa bulan berselang,
tepatnya pada Festival Film Bandung 2011 karyanya mampu berjaya.
Tidak tanggung-tanggung, Sang Pencerah
memborong tujuh Anugerah Terpuji pada
malam penghargaan di Hotel Horison Bandung, 2011.
Mendapat kabar gembira, tak pelak suami Zaskia Adya Mecca ini senang bukan main. Tidak segan-segan dia memuji kiprah produsernya, Raam Punjabi. Dalam sebuah kesempatan dia mengucapkan “Terimakasih kepada pak Raam. Meskipun beliau seorang non-Muslim, namun
membuat film tentang pahlawan nasional Ahmad Dahlan.”
Saat mendengar ucapan
sang sineas,
serta-merta seorang rekan yang duduk di sebelah saya berkomentar dengan nada
sedikit usil “Ah, Pak Raam juga bukan orang Amerika sih, tapi dia bikin film
tentang Obama tuh.”
Juni 2011
Label:
ahmad dahlan,
bandung,
batam,
dewan juri,
festival film,
ffi,
hanung bramantyo,
kepulauan riau,
kontroversi,
nominasi ffi,
obama,
piala citra,
raam punjabi,
sang pencerah
Sabtu, 12 Mei 2018
Akibat Rasa Gemas
Siang itu, Jumat akhir April 2018,
ramai orang berdatangan di lobi bioskop Epicentrum XXI, Kuningan, Jakarta
Selatan. Mereka, umumnya masih usia remaja. Tujuannya sama-sama menyaksikan
pemutaran film horor Sajen. Tentu
saja ini pemutaran khusus atau premiere untuk kalangan terbatas. Dengan teratur mereka
membentuk antrean untuk mendapatkan tanda masuk bioskop.
Saya berdiri menanti pemutaran dimulai. Santai sejenak
dekat loket pembelian tiket bersama seorang rekan wartawan. Tiba-tiba produser Chand
Parwez Servia melintas di depan kami dan dengan ramah menyalami kami satu-persatu.
“Wah, balik ke genre horor lagi,
pak...” celetuk saya.
“Ya. Habisnya terasa gemas juga,”
selorohnya dengan wajah santai.
“Kok gemas?” saya sambar lagi.
“Ya, selain memang sekarang zamannya film
horor, di IBOMA kemarin yang menang malah Pengabdi
Setan. Film Susah Sinyal sampai kalah. Ya sudah, saya coba masuk horor lagi
deh. Lagi pula Hanny Saputra sutradaranya kan pernah banyak bikin film sama saya,” tuturnya penasaran.
“Jadi mau coba icip-icip kue horor
karena gemas pak ya... “
“Ya kira-kira begitu.”
30 April 2018
Kamis, 03 Mei 2018
Film Noir Rasa Receh
Sekali-sekali saya datang ke ajang yang tak ada
hubungannya dengan film. Macam perhelatan yang digelar oleh Bina Antar Budaya di
EX Plaza, Jakarta Pusat pada pertengahan Februari 2010 misalnya. Ketika itu berlangsung sebuah
diskusi santai yang menghadirkan para pembuat film. Di sana hadir ada
sutradara Joko Anwar dan Andibachtiar Yusuf.
Tepat sebelum sesi dimulai, pembawa acara
Ully Herdinansyah memperkenalkan pembicara yang hadir kepada para hadirin. Cowok
yang pernah berakting dalam Nagabonar Jadi 2 ini membacakan riwayat hidup para
sineas tersebut. Joko Anwar misalnya, disebutkan sebagai sutradara pembuat film
noir (bacanya noar).
Tiba-tiba Yusuf, pembicara yang lain langsung memotong dan
spontan berkomentar dengan isengnya,”Maaf, mau tanya. Arti kata noir itu apa sih, Jok? Film yang gambarnya gelap-gelap
kurang cahaya gitu ya?”
“Bukan dong. Belum tahu ya? Noir itu maksudnya Joko A-Noir
lagi...” kilah sutradara (bertubuh) besar itu dengan kalem tapi setengah mengejek.
Kemudian sang MC pun hanya bisa manggut-manggut mendengar guyonan receh itu.
Maret 2010
Langganan:
Postingan (Atom)