Kamis, 26 April 2018

Tips Agar Film Masuk Festival


Pagi itu akhir Februari 2018. Saya berangkat ke Kinosaurus. Ini nama sebuah bioskop alternatif di kawasan Kemang, Jakarta Selatan. Tujuannya untuk memenuhi undangan dari Kolektif. Ada konferensi pers sebuah acara tahunan dan didahului dengan pemutaran film Mobil Bekas dan Kisah-kisah dalam Putaran

Rupanya undangan itu dirasa terlalu pagi bagi sebagian rekan wartawan. Tak heran jika suasana terasa sedikit sepi. Setelah berbasa-basi dengan rekan panitia sambil menunggu barang setengah jam, akhirnya film pun diputar juga.

Saat pemutaran selesai lampu ruangan bioskop kembali dinyalakan. Rekan panitia membuka acara dengan bincang-bincang seputar hajat yang digelar beberapa pekan ke depan. Satu demi satu narasumber bercerita tentang karyanya. Termasuk juga sutradara Mobil Bekas, Ismail Basbeth. Uraian yang dia sampaikan menarik untuk disimak lantaran memang retorikanya sungguh bagus.     

Ismail bercerita tentang bagaimana pembiayaan produksi filmnya dilalui dengan proses yang tidak biasa. Memang belum banyak proyek film lokal yang dibiayai secara patungan atau biasa dikenal dengan crowdfunding. Namun pria asal Wonosobo ini ternyata sukses meyakinkan calon investor. Bahkan setelah tuntas dieksekusi filmnya mampu menembus sejumlah festival di mancanegara seperti di Tokyo dan Busan.

Tak urung pencapaian ini membuat banyak pihak bertanya-tanya kepada Ismail. “Mas, itu caranya bagaimana filmnya bisa masuk festival di luar negeri,” demikian tuturnya menirukan para penanya yang penasaran itu.

“Iya, Bagaimana itu mas,” seloroh wartawan lain dengan rasa sedikit kepo.

“Caranya? Gampang aja toh... Ya, daftarkan aja filmnya,” tandas Ismail yakin.

Dan kami hanya termangu-mangu mendapat penjelasan yang sangat informatif ini. Memang ada benarnya. Mangkel atau tidak, itu soal nanti.



16 Maret 2018

Minggu, 15 April 2018

Antara Milos Forman dan FFI


Sineas legendaris Milos Forman baru saja meninggal dunia, Jumat (13/4) lalu. Pembuat film kelahiran Republik Ceko ini kondang berkat karyanya One Flew Over the Cuckoo's Nest (1975) dan Amadeus (1984) yang berjaya di ajang Academy Awards. Cerita ini bukan tentang pria bernama asli Jan Tomas Forman ini, melainkan sebuah obrolan santai yang kebetulan menyebut-nyebut namanya.

Ceritanya begini, di masa lalu Festival Film Indonesia menganut kebijakan unik, mungkin juga antik. Pasalnya, film yang dibuat oleh warga negara asing ternyata tidak bisa dilombakan dalam festival ini. Pokoknya dia langsung digugurkan tanpa ampun selama sutradaranya bukan orang berpaspor hijau. Demikian kira-kira bunyi peraturan yang tercantum dalam buku putih panitia pelaksana festival.  

Tak heran, film seperti Love pun harus layu sebelum berkembang meskipun banyak mendapat pujian dari kritikus. Adapun penyebabnya film ini dibuat oleh Kabir Bhatia, sineas Malaysia kelahiran Mumbai, India. Alhasil, sesuai peraturan panitia, kendati dianggap bagus Love tak bisa diikutsertakan dalam FFI 2008.

Kasus serupa kembali dialami oleh film Jermal. Disutradarai oleh trio Rayya Makarim, Ravi Bharwani, dan Utawa Tresno, proyek ini kembali gugur sebelum bertanding. Belakangan diketahui, Utawa Tresno adalah nama samaran dari Orlow Seunke, seorang sineas warga negara Belanda. Ironis, kendati film ini tayang perdana di Busan International Film Festival 2008 ternyata harus kandas di festival negeri sendiri.

Syahdan, pada suatu siang Desember 2009 saya datang ke ajang JiFFest di Blitz Megaplex Grand Indonesia. Dari sekian banyak orang yang hadir, saya melihat Orlow. Langsung saya datangi dia dan bertanya tentang peristiwa yang dia baru saja alami di FFI ini. Tentu saja terlontar ungkapan kekecewaannya.

“Gila. Di Hollywood, sutradara asing boleh kok filmnya ikut Academy Awards. Roland Emmerich yang bikin 2012 boleh. Bahkan, Milos Forman bisa menang banyak Piala Oscar,” paparnya dengan nada sedih. Mendengar penuturan itu saya hanya manggut-manggut. Itu sih murni keputusan panitia yang terhormat, pikir saya.

Selang beberapa tahun kemudian kegundahan Orlow seolah didengar oleh para pembuat kebijakan di FFI. Pada FFI 2015 misalnya, kalau ada film yang sutradaranya orang asing maka film itu tetap dinilai, kecuali pada kategori sutradaranya sendiri.




Januari 2010.  

Senin, 09 April 2018

Tak Tahu Ada Hiu



Akhir Maret 2018, rumah produksi Demi Istri Film menyiapkan proyek terbarunya Terbang Menembus Langit. Film arahan sutradara Fajar Nugros ini rencananya akan diputar di bioskop pada bulan berikutnya. Namun proses promosi sudah dilakukan jauh hari, di antaranya berupa roadshow ke kampus-kampus. Formatnya semacam dialog dengan para mahasiswa yang menjadi target penontonnya.

Siang itu digelar bincang-bincang di kampus Universitas Tarumanegara, kawasan Grogol, Jakarta Barat. Selain produser Susanti Nugros, sejumlah bintang hadir seperti Dion Wiyoko, Aline Adita, Marcel Darwin, dan beberapa komika. Mereka menceritakan pengalamannya selama proses produksi di kota Tarakan, Kalimantan Utara. Erick Estrada menjadi salah satu pelakon yang menuturkan kisah menarik.

“Ceritanya ada adegan saya naik kapal dan berdiri di ujung kapal seperti Jack Sparrow. Tiba-tiba saya jatuh ke laut. Aduh, berenanglah saya sampai ke ujung dermaga,” tutur pria asal Yogyakarta ini dengan penuh semangat.

“Pas sampai di dermaga saya didatangi sama nelayan di sana. Sambil berkerubung, kelihatan kagum gitu... Terus komentar ‘Wah, mas, kok berani sih berenang di laut sebelah sini. Di sana kan banyak hiu martilnya. Nelayan sini kalau melaut agak ke sebelah sana’...” ucapnya menyitir obrolan waktu itu.

Erick pun melanjutkan ceritanya,“Akhirnya, saya cuma bisa protes sama orang lokasi. Aduh mas, saya punya anak. Saya belum kepingin anak saya jadi anak yatim. Bilang-bilang kek kalau di laut sini banyak hiunya..”

Mahasiswa yang hadir pun tertawa tergelak dibuatnya.



22 Maret 2018

Senin, 02 April 2018

Jejak Chrisye dalam Sinema Indonesia


Sebelas tahun lalu penyanyi legendaris Raden Chrismansyah Rahadi alias Chrisye tutup usia. Kepergiannya bertepatan dengan Hari Film Nasional, 30 Maret 2007. Kendati lebih dikenal di ranah musik lewat kepiawaiannya dalam bidang tarik suara, ternyata nama besar almarhum banyak meninggalkan jejak dalam blantika sinema Indonesia. Pasalnya, Chrisye sempat terlibat dalam sejumlah proyek layar lebar di tanah air. Menariknya, semua itu dilakoni dengan kiprah yang berbeda-beda, mulai dari membawakan lagu soundtrack, menata musik, bahkan sampai berakting segala. Film apa sajakah yang dimaksud?

Badai Pasti Berlalu
Setelah sempat beberapa tahun berkiprah dalam Gipsy Band, Chrisye memulai karier solonya pada 1977. Saat itu hoki pertamanya datang ketika membawakan tembang karya James F Sundah yang berjudul Lilin-lilin Kecil. Lagu ini masuk dalam album Lomba Karya Cipta Lagu Remaja yang diselenggarakan oleh Radio Prambors dan meledak di pasaran. 

Masih di tahun yang sama, Chrisye terlibat proyek legendaris Badai Pasti Berlalu. Ini merupakan album studio yang memuat lagu tema untuk film bertajuk serupa arahan sutradara Teguh Karya. Lagu-lagu yang terdapat di dalamnya diproduseri oleh Eros Djarot. Tata musik digarap oleh Yockie Soerjoprajogo, sedangkan Chrisye membawakan nyaris seluruh tembang yang ada dalam album ini dibantu oleh Berlian Hutauruk.

Saking legendarisnya, album ini masuk pada peringkat pertama dalam daftar 50 Album Indonesia Terbaik versi majalah Rolling Stone Indonesia edisi Desember 2007. Rupanya lantunan suara Chrisye sungguh akrab dan begitu melekat di benak banyak orang. Sedangkan Badai Pasti Berlalu dianggap sebagai idiom yang membakar semangat untuk tidak mudah menyerah.

Bagaimana dengan filmnya? Ternyata Badai Pasti Berlalu mendapatkan sambutan meriah dari publik. Laman filmindonesia.or.id mencatat proyek yang diproduseri oleh Sudwikatmono (saat itu belum menjadi raja bioskop) ini menduduki posisi kedua sebagai film terlaris di Jakarta. Menurut data Perfin tak kurang ada 212.551 helai karcis yang terjual di bioskop Jakarta. Rupanya nama bintang top macam Roy Marten, Christine Hakim, hingga Slamet Rahardjo cukup membuat penasaran khalayak.

Sepuluh tahun kemudian, film ini dibuat kembali oleh sutradara Teddy Soeriaatmadja. Bintang muda Vino G Bastian dan Raihaanun dipasang sebagai pemain utamanya. Sayang sekali proyek tersebut kandas di bioskop tanah air. Nasibnya tidak seberuntung film versi aslinya. Sedangkan album yang berisi lagu-lagu Chrisye macam Badai Pasti Berlalu atau Merpati Putih kembali didaur ulang oleh penyanyi era 2000-an seperti Ari Lasso dan Astrid. Chrisye sendiri tidak terlibat sama sekali dalam proyek yang digarap oleh komposer Andi Rianto ini.

Berakting di Film
Diam-diam suami dari Yanti Noor ini tidak hanya sekadar piawai bernyanyi. Sekali-sekali, Chrisye unjuk kebolehan untuk ikutan tampil berlakon di layar lebar. Salah satunya seperti yang dia tunjukkan dalam film Seindah Rembulan karya sutradara Syamsul Fuad. Menurut wikipedia film ini dirilis pada 1980, sedangkan JB Kristanto mencatat rilis pada 1981.

Boleh jadi film ini merupakan monumen untuk melongok sosok Chrisye yang aslinya pendiam dan sedikit kaku. Berakting bersama penyanyi Iis Sugianto dan Lidya Kandou dia malah tampak tampil lepas. Mungkin lantaran karakter yang dimainkan tak jauh-jauh juga dari dunia musik, faktor ini membuat penampilannya terasa alami dan sedap ditonton.  

Film ini sendiri memang terasa kental atmosfer musiknya, maklumlah produsernya memang seorang pencipta lagu kondang, Rinto Harahap. Rinto pula yang menulis skenarionya bersama Deddy Armand. Album soundtrack yang menjadi pengiring film ini menampilkan tembang andalan Seindah Rembulan dibawakan duet Chrisye dan Iis. Pengamat musik Denny Sakrie menyebut mereka sebagai duet yang absurd, karena memang keduanya memiliki warna musik jauh berbeda. Iis biasa membawakan tembang melankolis, sebaliknya Chrisye dikenal dengan pop kreatif.

Selain duet bersama Iis, Chrisye juga tampil solo dengan lagu  Dewi Mayang serta tembang legendaris Sabda Alam. Sejumlah penyanyi top pada masa itu juga ikut berpartisipasi dalam proyek ini seperti Grace Simon, Christine Panjaditan, dan Mariyance Mantouw.

Pada album ini, Chrisye juga menjadi penata musik bersama sang produser Rinto Harahap. Yockie Soejoprajogo batal mendukung album ini, pasalnya dia merasa tak ada kecocokan secara visi musiknya. Akhirnya Chrisye pun turun tangan dan melakukan kompromi untuk berduet dengan biduanita spesialis lagu melankolis. Komprominya begini: tembang Seindah Rembulan ciptaan Rinto Harahap sedangkan tata musiknya digarap oleh Chrisye sendiri.

Sayang sekali, tidak ada data jumlah penonton untuk film ini. Laman wikipedia hanya menyebutkan bahwa film ini diluncurkan pada tahun 1980 dan meraih kesuksesan. Satu catatan menarik dari proyek film ini adalah Chrisye pernah berkolaborasi dengan pencipta lagu melankolis sekaliber Rinto Harahap, namun Chrisye tetap bertahan pada warna musik yang menjadi ciri khasnya. 

Film Biopic
Masih tentang film terkait Chrisye, kabar mengejutkan datang pada awal Maret 2017.  Rumah produksi MNC Pictures melansir berita akan menggarap film biopic Chrisye setelah mengantungi restu dari istri almarhum Yanti Noor. Aktor beken Vino G Bastian ditunjuk sebagai Chrisye sedangkan Velove Vexia memainkan karakter Yanti. Kemudian Rizal Mantovani ditunjuk sebagai sutradaranya.

Yanti memberikan kepercayaan kepada Alim Sudio untuk menulis skenarionya. Sebuah kisah kilas balik ketika Chrisye meretas kariernya di ranah musik dan mendapatkan penolakan dari sang ayah. Gaya penulisannya sesekali jenaka, terutama ketika menggambarkan sosok Chrisye yang acapkali kikuk apalagi ketika berhadapan dengan Yanti. Selebihnya Alim mengupas figur Chrisye lebih kontemplatif, mengajak kita merenung, dan terasa dalam.  

Upaya Vino untuk membawakan karakter ini lumayan serius. Selain meniru gestur, dia harus berambut gondrong dan memasang rahang palsu di dokter gigi. Semua itu dilakukan Vino agar mendapatkan kemiripan dengan karakter Chrisye.

“Dari Vino saya mendapatkan rekan kerja yang sangat paham mengenai bagaimana menerjemahkan skrip menjadi baik. Itu yang membuat saya senang sekali,” tukas Rizal dalam jumpa pers di kawasan Senayan, Jakarta Pusat, September 2017 lalu.
 
Pujian serupa juga datang dari Ferry Mursyidan Baldan, mantan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN RI, yang juga Ketua Komunitas Kangen Chrisye (K2C). Dia melihat Vino banyak melakukan riset serius dalam rangka pendalaman karakter. “Vino bilang ke saya, dia membaca buku yang saya terbitkan, Chrisye di Mata Media, Sahabat dan Fans, untuk menangkap lebih detail sosok Chrisye,” tukas pria kelahiran 16 Juni 1961 ini.

Menurutnya yang lebih penting untuk karakter Chrisye bukan perkara kemiripan wajah, melainkan lebih pada soal penjiwaan. “Sebagai penggemar, buat saya, siapapun yang main tidak masalah. Yang penting filmnya sudah jadi dan siap beredar,” ucap Ferry antusias.

Sambutan publik terhadap film ini terhitung lumayan baik. Dilabeli untuk usia 13 tahun, selama tiga pekan pemutaran sejak 7 Desember 2017 karcis yang terjual di bioskop mencapai 204.161 helai. Selain antusiasme masyarakat yang masih mencintai sosok Chrisye, hasil ini juga dicapai berkat upaya komunitas penggemar seperti yang dipelopori oleh Ferry misalnya.    

Penutup
Ketiga film di atas sungguh melekat dengan imaji Chrisye. Menyebut Badai Pasti Berlalu misalnya, orang tak hanya diingatkan pada sutradara maestro Teguh Karya, tapi juga pada lagu milik Chrisye yang bersuara serak-serak basah. Kemudian ketika menonton Seindah Rembulan orang dibuat semakin gemas melihat akting Chrisye yang apa adanya di sana. Apalagi versi biopic dari Rizal Mantovani dengan sosok Chrisye yang dibawakan Vino G Bastian. Kekenesan Chrisye betul-betul bikin kangen setengah mati.

Sesungguhnya masih ada film lain yang juga melibatkan Chrisye, seperti Gita Cinta dari SMA karya sutradara Arizal. Di sini dia melantunkan tembang abadi Galih dan Ratna ciptaan Guruh Sukarnoputra. Hanya saja, film yang satu ini tidaklah sekuat tiga judul di atas, yang bisa dijadikan rujukan untuk mengenang eksistensi Chrisye di ranah film. Namun tetap saja karya ini boleh disebut sebagai monumen penting untuk mengingat sang biduan legendaris.
 

Deretan film ini bisa juga untuk ditonton bareng para fans Chrisye sebagai obat pelipur rasa rindu. Sosoknya yang selama ini dikenal sebagai penyanyi yang ogah-ogahan dalam bergoyang di atas pentas, ternyata pernah lebih dari itu. Tak disangka, ternyata dia sejatinya adalah seniman berbakat multi talenta. Mulai dari penyanyi, pemain instrumen, pencipta lagu, penata musik, bahkan juga pemain film.


Minggu, 01 April 2018

Cerita di Balik Plat Nomor Mobil


Apakah mata anda jeli saat nonton film? Bisa jadi ini perkara penting. Pasalnya, para pembuat film tanah air lumayan jahil untuk mencantumkan trivia yang acapkali bikin geli. Melalui plat nomor mobil misalnya. Di sana kerap dijumpai hal-hal yang tak disangka-sangka. Entah itu nomor yang memang terdaftar di Samsat setempat atau dibuat-buat demi keperluan film itu soal lain.

Kasus yang paling hangat terjadi dalam film horor Danur 2: Maddah. Di sini sang karakter utama, Risa (Prilly Latuconsina) digambarkan sudah dewasa. Ceritanya dia mengemudikan sendiri mobil sedan Honda matic itu, diperlihatkan di sana nomor platnya D 411 UR. Nah, kalau sedikit dikutak-katik bacanya bisa jadi DANUR, judul film ini.

“Ah itu isengnya gue aja sih,” kata Awi Suryadi sang sutradara saat dikonfirmasi. Rupanya plat nomor itu dipakai hanya sekadar gimmick lucu-lucuan syuting. Bahkan dia pun memberikan info tambahan. Mobil properti lainnya, Mercedes Benz 1970-an yang dikendarai pamannya Risa menggunakan plat nomor D 2903. “Itu maksudnya 29 Maret, tanggal rilis awal film ini. Tanggal sebelum dimajukan sehari jadi 28 Maret.”

Kasus yang mirip di masa lalu banyak terjadi. Sutradara David Poernomo dalam film fiksi ilmiah Glitch (2009) yang dibesutnya memakai mobil sedan dengan plat B 711. Seperti diketahui, angka 711 adalah nama rumah produksi yang dipimpinnya, Dapoer 711. Dapoer di sini adalah singkatan dari namanya David Poernomo dan bukan pecahan dari komunitas pembuat film yang dipimpin oleh Hanung Bramantyo. Rupanya David hanya sekadar ingin narsis-narsisan semata.

Lain lagi dengan Rako Prijanto. Di film Merah Itu Cinta (2007) dia juga memunculkan sebuah mobil sedan dengan plat nomor unik. Nomor yang terlihat di sana B 153 KS. Iseng-iseng kalau dibaca jadi biseks. Apakah ini menjadi bagian dari plot ceritanya? Entahlah. Silakan cek saja sendiri film yang dibintangi oleh Marsha Timothy dan Gary Iskak ini.

Satu lagi temuan menarik muncul di film Rumah Dara (2010) karya Mo Brothers. Dalam salah satu adegan diperlihatkan munculnya mobil van, lagi-lagi dengan plat nomor unik. Mobil yang dimaksud kali ini dengan kode daerah Bandung: D 461 NG. Terbaca jadi DAGING. Namanya juga film slasher, ya kan. Pasti banyak cacahan daging bertebaran.



26 Maret 2018