Selasa, 27 September 2016

Antara Djair dan Stan Lee




Anak sekarang boleh jadi hanya kenal istilah “Jaka Sembung bawa golok, ngga nyambung goblok”. Padahal kalau ditanya siapa itu Jaka Sembung, belum tentu juga mereka tahu. Jaka adalah tokoh pendekar rekaan asal Kandanghaur, satu tempat di kabupaten Indramayu yang kemudian diadaptasi ke layar lebar. Tak bisa disangkal, nama Djair Warni berada di balik sosok legendaris Jaka Sembung di layar perak negeri ini.

Lewat goresan tangan Djair, pendekar nan saleh ini kemudian malang melintang dalam khazanah film nasional di era 1980-an. Aktor berwajah indo Barry Prima didapuk oleh rumah produksi Rapi Films untuk memerankan Jaka Sembung. Perihal pilihan produser kepada Barry Djair sempat menyatakan ketidaksetujuannya.

“Tahun 1980-an pantasnya peran itu untuk Dicky Zulkarnaen. Sayangnya dia sepuluh tahun lebih tua. Harusnya orang seperti Dicky (yang dipilih), meskipun indo tapi tidak terlalu putih,” komentar Djair mengomentari ayah dari aktris dan produser Nia Zulkarnaen
itu.

Di era tahun 70-an, Dicky dikenal kondang sebagai pemeran jagoan Betawi si Pitung. Sama halnya dengan Jaka Sembung, Pitung menjadi sosok hero di era penindasan kompeni.
Karakternya kira-kira sebelas dua belas dengan Jaka. Tokoh Jaka Sembung memang sudah seharusnya tampan, tingginya tidak terlalu jangkung alias sedang, ramping dan berotot,” celoteh sang pembuat komik senior ini. 

Tubuh Barry Prima memang sangat sterek alias berotot. Maklumlah mantan suami aktris Eva Arnaz ini memang berlatar belakang seorang bodybuilder alias binaragawan. Sayangnya, pria indo Belanda-Sunda ini wajahnya terlalu bule, demikian ungkap seniman komik ini.

“Kalau sepas-pasnya orang pribumi ya seperti Bambang Irawan (ayah dari aktris Ria Irawan). Kalau sekarang, mungkin aktor Dicky Chandra cocok, tapi badannya kendor. Ngga kencang,” tambahnya lagi.

Siapa nyana selain aktif membuat komik, Djair juga sempat tampil bermain dalam beberapa judul film. Semuanya berawal lantaran dia kerap diundang datang ke lokasi syuting film oleh sang sutradara. “Daripada nganggur, ya diajak main...” seloroh Djair.

Maka jadilah peran-peran kecil dalam Si Buta dan Bajing Ireng, Si Buta Lawan JakaSembung, hingga Membakar Matahari disabetnya. Sementara dalam Pasukan Berani Mati ia sempat beradu akting dengan lawan main berkelas macam Roy Martin atau Dicky Zulkarnaen.

Wah, kirain cuma komikus Stan Lee aja yang kerap jadi banci tampil di film adaptasi hasil rekaannya.


(Senin, 8 Oktober 2007)

Senin, 26 September 2016

Kami Selalu Cek Toko Sebelah



Memulai karier di ranah hiburan sebagai pelaku stand up comedy, Ernest Prakasa kemudian merambah ke film. Produser Chand Parwez memberinya kesempatan menggarap Ngenest dan ternyata mendapat sambutan luas dari khalayak. Lebih dari setengah juta karcis terjual di bioskop. Tentu saja ini membuat produser Chand Parwez sumringah dan tak segan-segan untuk memberikan proyek berikutnya. Semester kedua 2016, Ernest mengeksekusi proyek keduanya yang bertajuk Cek Toko Sebelah.

Akhir September diadakan peluncuran trailer sekaligus konferensi persnya di sebuah kafe di Plaza Semanggi. Selain Ernest yang menjadi Raden Ngabehi: penulis skenario, sutradara, dan pemain, hadir pula para pemain lainnya. Kali ini dimunculkan sejumlah nama top seperti Adinia Wirasti, Dion Wiyoko, Gisella Anastasia, bahkan aktor asal Malaysia Chew Kin Wah. Tentu saja kolega Ernest dari kalangan comic turut dimunculkan: Dodit Mulyanto, Adjis Doaibu, Awwe, Abdur Arsyad, hingga wajah anyar Anyuncadel dan Arafah.

Acara dipandu oleh duet comic Adjis dan Awwe. Setelah memperkenalkan para pemain mereka mempersilakan wartawan untuk bertanya. Seorang rekan langsung menanyakan soal proses promosi seperti apa yang kelak akan dilakoni oleh rumah produksi ini, sebelum dirilis di bioskop bulan Desember.

Di luar perkiraan, ternyata Chand Parwez hanya menjawab singkat,”Tentu saja setelah melakukan proses produksi, untuk promosi kita juga akan cek toko sebelah...” Kemudian dia menyerahkan microphone kepada MC.



27 September 2016

Jumat, 16 September 2016

Sutradara di Bawah Pohon



Akhir-akhir ini menjadi sutradara film layar lebar alangkah mudahnya. Asalkan punya duit, punya alat produksi, serta teman yang mau jadi kru dan talent selesai masalah. Di masa lalu tidak bisa demikian, jalan yang dilalui penuh liku. Pasalnya, untuk menjadi sutradara harus melewati jenjang seperti yang diisyaratkan oleh organisasi profesi bernama KFT (Karyawan Film dan Televisi). Untuk bisa menjadi sutradara, misalnya, harus beberapa kali ikut produksi sebagai asisten sutradara. Sementara untuk menjadi asisten sutradara, pun ada jenjang yang harus dijalani lagi.

Adalah Yan Senjaya, salah satu sineas masa lalu yang cukup dibuat repot oleh aturan ini. Ketika sudah pernah ikut membuat film pada awal 1980-an, dia pun mendaftar ke kantor KFT untuk mendapatkan predikat sutradara. Di sana Yan bertemu dengan orang yang mengurus di bagian pendaftaran.

“Eh, gue daftar dong jadi sutradara. Gue kan udah pernah bikin film…,” demikian dituturkannya dalam sebuah kesempatan makan siang di awal Juni 2016.

“Wah, nggak bisa. Lu memang pernah bikin film, tapi lu tetap musti ikut kursus dulu,” balas sang pengurus.

Mendapat jawaban itu, Yan pun hanya bisa termangu dibuatnya. “Gila ini sih, yang revisi filmnya dia kan gua. Masak musti ikut kursus segala,” tuturnya dengan nada kecewa.

Namun gairah Yan untuk berkreasi tidak pernah padam. Dia tak kekurangan akal. Sebagai solusinya, dia pinjam nama sutradara lain untuk menyandang titel sutradara. Sutradara yang dipinjam namanya tinggal duduk manis di bawah pohon. Alhasil, beberapa judul film yang dibintangi trio komedian Warkop pun lahir di tangannya. Bahkan ada pula film laga yang sempat terkenal di mancanegara.

 
Juni 2016

Selasa, 06 September 2016

Tanya Istri Saya Dulu



Peritiwa ini terjadi dalam kesempatan konferensi pers film Sabtu Bersama Bapak, usai pemutaran filmnya di bioskop Blitz CGV Grand Indonesia. Setelah sutradara Monty Tiwa dan penulis buku Aditya Mulya memberikan sekapur sirih, giliran satu-persatu pemain bicara tentang porsi peran yang dibawakan. Dimulai dari Acha Septriasa, disusul yang lainnya.

Dalam kesempatan itu Acha sempat berseloroh ‘di mana ada pak Monty di situ ada saya’. Memang, sudah beberapa kali mereka terlibat produksi bareng. Salah satunya, Testpack yang membawanya meraih piala Citra untuk kategori Aktris Utama Terbaik FFI 2012. Bahkan Acha sempat melakoni adegan perkelahian dalam proyek yang belum jelas kapan rilisnya, Barakati.

Tak urung kalimat dari Acha ini membuat aktor Deva Mahenra merasa iri. Saat mendapat giliran, dia membalas pernyataan itu dengan nada jenaka ‘di mana ada pak Monty, di situ tidak ada saya’. “Jadi, pak Monty tolonglah ajak saya…” pintanya penuh harap agar diajak ikutan proyek syuting lagi. 

“Oke. Tapi gue tanya istri gue dulu ya, Dev… Boleh nggak nanti bawa lu ke rumah,” seloroh Monty dengan sigap.


 
2 Juli 2016