Rabu, 30 November 2016

Ismail Film Festival



Tahun ini Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF) memasuki gelaran ke-11. Dan pada 17 November 2016 lalu digelar konferensi persnya di kawasan Pejaten, Jakarta Selatan. Lebih banyak film yang diputar dan lebih banyak lagi negara peserta dibandingkan tahun sebelumnya. Sebanyak 138 judul film siap diputar, baik panjang maupun pendek berasal dari 27 negara, termasuk dua dari pecahan Uni Soviet: Armenia dan Kirgiztan.

Satu demi satu narasumber menberikan presentasinya saat konferensi pers. Sampai kemudian masuklah pada sesi tanya jawab. Seorang rekan wartawati lantas bertanya kepada mereka yang duduk di depan. 

“Apakah mas Ismail Basbeth yang melakukan kurasi semua film di festival ini?”

“Wah, ya nggak toh mbak...” sergah Ismail yang menjadi Program Director dalam hajat ini.

“Ya, kalau begitu, namanya jadi Ismail Film Festival dong. Bukan JAFF lagi...,” sambar Ifa Isfansyah, sang Executive Director.

Para hadirin langsung tertawa mendengarnya.

Sejurus kemudian Ismail menjelaskan proses kurasi film yang dilakukan pada festival ini. Perihal tata caranya dan segala macam. Tidak semua kurasi dilakoninya sendiri, ada pula yang harus diseleksi bersama-sama panitia. “Pokoknya kalau sampai ada film yang bisa bikin kita iri, ‘wah ini film bagus banget...’ nah yang seperti itu kita peluangnya besar untuk kita loloskan...”

Mendengar penjelasan tersebut, sang rekan pun hanya bisa manggut-manggut.



25 November 2016

Kamis, 17 November 2016

Kode Pilihan Politik



Tahun 2014, rakyat Indonesia merayakan pesta demokrasi. Ketika itu pilihannya mengerucut pada dua nama capres dan cawapres, nomor 1 ada Prabowo-Hatta dan nomor 2 Jokowi-Jusuf Kalla. Isu-isu politik seperti ini kadang menjadi bahan pertanyaan iseng wartawan hiburan. Ternyata hal itu terjadi pula saat pemutaran film yang rencananya rilis saat libur lebaran, judulnya Seputih Cinta Melati karya Ari Sihasale.

Tepat sebelum film dimulai sang sutradara masuk dan berdiri di ujung gang pintu masuk depan layar bioskop. Dia memperhatikan satu demi satu calon penonton yang berdatangan ke dalam studio 2 bioskop Epicentrum XXI tersebut. Para wartawan pun sudah duduk manis di kursi masing-masing sembari menanti film dimulai.

Tiba-tiba dari deretan kursi atas bertanyalah seorang rekan kepadanya, tentu saja sambil setengah teriak, “Mas Ale, pilih nomor 1 atau nomor 2?”

Ale pun tampak tidak terlalu menggubris pertanyaan tersebut. Dia lebih memilih sibuk mengatur anak buah yang berada di dekatnya. Namun karena wartawan terus memanggil, sejurus kemudian suami Nia Zulkarnaen ini menjawab dengan nada demokratis. 

“Kalian nonton di studio berapa?,” tanyanya sambil mendongak ke arah sumber suara tadi.

“2…,” balas sang rekan.

“Nah. Itu…, sahut Ale kalem.

Sang rekan pun terlihat puas mendapat jawaban tersebut. 
  

Juli 2014
 

Sabtu, 12 November 2016

Mungkin Hanya Itu yang Mereka Tahu



Nurman Hakim adalah nama salah satu sutradara yang konsisten dalam membuat film berlatar religi. Maklum, dia memang lahir dari kalangan pesantren. Tak heran jika kisah-kisah yang diusungnya terasa cukup kuat, buktinya sempat beberapa kali filmnya masuk nominasi FFI.   

Berkaitan dengan film religi, saya sempat wawancara dengannya sekitar April 2016. Topiknya soal isu poligami yang tampaknya amat digandrungi oleh pembuat film di sini. “Kenapa kok di Indonesia orang bikin film drama religi tapi sebatas membahas isu poligami?” 

Mungkin yang mereka tahu bahwa urusan poligami selalu berhubungan dengan agama,” tukas Hakim sambil tertawa,”... jadi mereka malas untuk membahas tema lain dalam agama yang sebenarnya sangat luas.

“Oh ya... kok bisa begitu ya?” tanya saya lagi.

Karena mungkin dianggap sesuatu yang menarik. Atau bisa saja itu adalah representasi dari penonton kita yang secara alam bawah sadar ingin tahu dunia poligami itu seperti apa,” seloroh suami sutradara Nan T Achnas ini.

“Atau ada kemungkinan para penonton mau mencoba menambah istri?” lagi-lagi saya sambar.

“Ya, bisa. Mungkin suatu saat mereka akan coba...” lanjutnya masih sambil tertawa.  



12 November 2016

Minggu, 06 November 2016

Apa Sih yang Nggak Dijual di Indonesia?



Kisah ini terjadi suatu siang akhir Oktober 2016 di Jakarta, tepatnya di dalam bioskop CGV Blitz Grand Indonesia. Di sana baru saja digelar konferensi pers Korea-Indonesia Film Festival. Saya pun beranjak dari kursi, bergegas keluar. Di jalan ke arah pintu rekan wartawan Yan Widjaya antusias menyebutkan niatnya untuk nonton salah satu film yang dinilainya lucu.

“Saya kepingin banget nonton Seondal: The Man Who Sells The River. Judulnya aja sudah lucu banget...” selorohnya kepada programer film festival ini. “Orang kok bisa menjual sungai. Ada-ada aja idenya orang Korea...”

Di sebelah saya melintas seorang rekan publisis. Rupanya dia mendengar komentar tersebut dan kemudian berbisik kepada saya,”Wah, di sini sih itu hal biasa. Apa sih yang nggak bisa dijual di Indonesia?”

Sambil berjalan saya pun tertawa sambil manggut-manggut mengiyakan. “Ya, betul juga sih...”

“Kemarin gue baru pulang dari daerah Sulawesi Utara. Di sana malah danau. Bayangin, danau sampai dijual... “ sambung dia lagi. “... dan pemiliknya orang asing pula.”

“Oh, buat private area gitu ya. Sama tanah di sekitarnya kan?” tanya saya.

“Nah, nggak tahu buat apa. Pokoknya sudah dijual aja...”



 4 November 2016