Senin, 26 Maret 2018

Lebih Takut kepada Politisi



Pada awal Juni 2017, saya bersama beberapa rekan wartawan berangkat ke Kroasia. Di sana digelar Indonesia Movie Week (IMW), pemutaran beberapa film Indonesia di kota Zagreb dan Split. Salah satu rangkaian acaranya berupa diskusi antara sineas dan produser film Indonesia dengan aktivis film lokal.

Pagi itu saya menanti delegasi Kroasia di lobi Hotel Loop, Zagreb. Sejurus kemudian mereka mulai berdatangan dan menanti di sofa lobi sebelah luar. Saya datangi mereka dan berbincang sekenanya tentang situasi negara mereka secara umum. Mereka antara lain pengacara Pusat Audiovisual Kroasia, Josipa Dasovic, Koordinator Program Pembuatan Film Kroasia, Margarita Peric, dan produser film Boris Janovic.

“Bagaimana menurutmu Kroasia?” tanya Josipa seraya membuka obrolan santai itu.

“Wah menarik. Di sini aman ya... Perempuan bisa jalan sendiri tengah malam tanpa takut diganggu penjahat. Yang saya lihat malah lebih banyak penduduk lokal dan tak ada wajah imigran dari negara lain,” tutur saya dengan nada kagum.

“Betul. Di sini kami memang nyaris tak ada bahaya mengancam seperti copet atau orang jahat lainnya. Kalau harus takut sih, kami lebih takut kepada politisi,” sambar Margarita sambil tertawa geli sendiri.

“Ya ya. Saya sepakat itu. Kami di Indonesia pun sama saja, takut juga pada politisi...” kata saya lagi seraya ikut tertawa seolah ikut mengaminkan. 


8  Juni 2017

Senin, 19 Maret 2018

Mengemas Sosok Onggy Hianata dalam Dua Jam

Banyak figur yang kisahnya menarik untuk diangkat ke layar lebar. Salah satunya seperti Onggy Hianata ini. Nama tersebut dikenal sebagai inspirator yang bergerak dalam pembentukan character building dan sudah dikenal ke mancanegara. Setiap kali dia menggelar training pesertanya datang bahkan dari lima benua. 

Kisah hidup Onggy ternyata menarik perhatian sutradara Fajar Nugros. Semua berawal ketika dia liburan bersama sang istri ke Kepulauan Derawan, Kalimantan Timur pada 2017. Di sana Fajar mendapatkan cerita unik, yaitu pengalaman seorang penduduk asli Tarakan yang mampu memberikan arti bagi keluarga dan orang sekitar mereka. Warga yang dimaksud adalah Onggy Hianata. Lantaran suka dengan spirit perjuangan itu, Fajar langsung bergerak cepat dan mengeksekusinya, hingga jadilah Terbang Menembus Langit.

Bagi Fajar ini jelas proyek yang sarat dengan tantangan. Pasalnya, dia harus menghadirkan masa lalu hingga masa kini (1970-an hingga akhir 1990-an). “Ini kisah 32 tahun yang dijadikan dalam dua jam,” ucapnya dalam sebuah obrolan akhir tahun lalu.

Nah, seperti apakah pergumulan hidup Onggy Hianata? Lelaki ini lahir di Tarakan, Kalimantan Timur (sekarang masuk wilayah Kalimantan Utara), 6 Maret 1962. Ayahnya, Ong Tjoi Moi adalah seorang pegawai toko kelontong. Mereka tinggal di rumah sederhana di kawasan Kampung Bugis, Kelurahan Karang Anyar, Kecamatan Tarakan Barat.

Sebagai anak kedelapan dari sembilan bersaudara, kehidupan keluarga Onggy jauh dari berkecukupan. Agar bisa memenuhi kebetuhan sehari-hari, dia kerap membantu orangtua. Tak heran jika Onggy harus keluar masuk hutan mencari kayu bakar, berkebun, beternak hingga berdagang di pasar pun dilakoni. “Saking miskinnya kami, saya masuk sekolah langsung kelas 3 SD,” selorohnya dalam sebuah sesi temu blogger di kawasan Menteng, Rabu (14/3). Dia masuk SD Kampung Bugis dan dilanjutkan masuk SMP Tunas Kasih sampai tamat. Kemudian Onggy juga menggondol ijazah SMA dari Yayasan yang sama.

Hidup miskin membuat Onggy menyimpan tekad kuat untuk menapaki tangga kesuksesan. Dia memiliki impian besar dan tentu saja banyak lagi tantangan menghadang di depan. Tamat SMA dia merantau ke Surabaya untuk melanjutkan kuliah. Sambil kuliah, Onggy membanting tulang untuk menutup biaya hidup di sana. “Mulai dari pedagang keliling buku sampai membikin kerupuk ubi. Mulai dari berjualan lotre Porkas, hingga berjualan jagung bakar di depan kampus, serta ikut bisnis MLM,” paparnya sambil mengenang. Akhirnya, dia sukses meraih gelar sarjana strata 1 di Universitas Satya Widya Surabaya pada 1989.

Ternyata gelar sarjana bukan garansi sukses, tetap saja jalan berliku harus dia lalui. Tak segan Onggy melakoni sejumlah profesi untuk hidupnya sehari-hari. “Apa saja, asalkan halal,” selorohnya. Demikian pula saat memulai bisnis, dia jatuh bangun mengelolanya, namun dia terus bertahan kendati sempat terpuruk lantaran sempat kena tipu berkali-kali.

Onggy mencoba merubah nasib dengan merantau ke Jakarta. Hoki pun mulai datang menghampiri saat dia ditawari berjualan koin emas. Bisnis pemasaran jaringan rupanya memberinya tantangan baru dan ternyata meraih sukses. Dia memiliki jaringan 60.000 orang tersebar di 36 negara. Sungguh kontras jika dibandingkan kondisinya saat merintis kehidupan di Jakarta.

Cerita sukses Onggy berkecimpung dalam bisnis pemasaran membuatnya sering diundang berceramah hingga ke negara tetangga. “Sesudah semakin menghayati, saya kemudian membuka usaha baru dalam bidang pendidikan sebagai motivator. Kalau saya bisa kaya, orang lain juga pasti bisa mencapainya.”

“Impian semasa di kampung hampir semuanya kini sudah bisa saya raih,” tuturnya dengan rasa puas. Selanjutnya, Onggy juga mulai mengembangkan usaha pribadi di sektor pendidikan, yaitu Edunet International. Lembaga ini turut serta dalam proses pemberdayaan dan potensi diri manusia khususnya melalui program pembinaan mental dan pola pikir. Kegiatan utamanya berupa training Bootcamp Value Your Life yang pesertanya tak hanya dari Indonesia, bahkan berasal dari negara yang nyaris tak terbayangkan mereka akan datang seperti Mali, Guinea Bissau, Afrika Selatan dan masih banyak lagi.

Ya, Onggy memang tak henti memberikan pencerahan kepada setiap individu yang ingin meraih sukses. Dia kerap menguraikan contoh pada dirinya sendiri yang pernah mengalami pengalaman pahit. “Gagal adalah sebuah hal biasa. Namun, dari setiap kegagalan, minimal ada pelajaran berharga yang dapat dipetik, yaitu petunjuk menuju sebuah keberhasilan. Kalau saya bisa, mengapa Anda tak bersedia mengubah mindset dan ikut serta meraih sukses?"

Onggy membuktikan dirinya tetap bisa meraih sukses setelah dihantam badai kegagalan berkali-kali. “Anda juga bisa memulai dengan tidak mempunyai apa-apa, bahkan dari keadaan minus,” tandasnya dengan penuh keyakinan.

Tentang film Terbang Menembus Langit, Onggy berkomentar, “Film ini kalau orang miskin, orang yang sedang berjuang, harus nonton. Dari situ paradigmanya harus berubah. Lahir miskin itu tidak salah, tinggal di mana enggak masalah, yang penting pikirannnya harus maju. Saya terus mencari dan mencari untuk kemajuan ke depan. Makanya judul ini namanya Terbang Menembus Langit. Artinya, meraih impian yang setinggi mungkin.”

Senin, 12 Maret 2018

Usaha Keras Memutihkan Kulit



Kisah ini terjadi saat acara konferensi pers film Rumah Dara, awal Januari 2010 di bioskop Blitz Megaplex Pacific Place, Jakarta Selatan. Berawal dari seorang wartawati mengajukan sebuah pertanyaan kritis kepada duet sutradara Mo Brothers. Rupanya dia merasa tergelitik dengan fakta di film slasher tersebut yang menurutnya kurang masuk akal.

Apa pasalnya? Bayangkan saja, aktor Ario Bayu yang berkulit hitam legam itu ternyata memiliki adik yang kulitnya putih bersih, yakni Julie Estelle. Pertanyaan yang cukup masuk akal bukan? Ternyata, sang sineas tidak mau kehilangan akal, dia punya 1001 macam alasan untuk menjawabnya. Menurutnya hal itu mungkin saja terjadi di film.  

“Namanya juga kejadian di film, mbak, kan bisa aja terjadi begitu,” demikian Timothy Tjahjanto, salah satu dari duet itu, mencoba berkelit dengan lincahnya.

“Tapi sebenarnya kita tahu bakal ada yang tanya kayak gini, makanya kita tetap berusaha kok,” lanjutnya lagi. “Sebelum syuting kita sudah kasih kosmetik Tje Fuk untuk bikin kulit Ario jadi putih. Apa boleh buat, ternyata tetap gagal,” seloroh Timo dengan santai.

Sang wartawati pun hanya bisa tertegun dengan jawaban nyeleneh itu.



Januari 2010

Selasa, 06 Maret 2018

Anak Lain Nggak Begitu




Tak banyak orang tahu jika aktris senior Niniek L Karim ternyata pernah menjadi anggota Lembaga Sensor Film (LSF). Namun ternyata dia tidak kerasan berlama-lama berada di sana. Dalam tempo singkat dia mundur di tengah jalan lantaran dua alasan. 
  
“Alasan pertama, karena saya tidak punya hak bicara dengan Ketua,” kata peraih dua piala Citra ini dalam Diskusi Panel LSF di Hotel Haris Tebet, Jakarta Selatan awal Agustus 2016. Rupanya pada era itu posisi sesama anggota memang tidak egaliter.

Disusul kemudian alasan kedua. Niniek merasakan suasana kerja di sana yang sudah tidak kondusif lagi. Tentu saja kondisi ini membuat emosinya meluap dan semakin mendorong nuraninya untuk berontak. 

Niniek menuturkan salah satu contohnya. Pernah suatu ketika anaknya nonton serial detektif 21 Jump Street di layar kaca. Kebetulan saat dia ikutan nonton, dialog di dalamnya kerap terdengar makian ‘fuck you’ dan itu bertebaran sepanjang film. Tak pelak, kalimat tersebut kerap ditiru oleh sang anak yang ternyata memang belum paham apa maknanya. 

“Saya pernah bertanya ‘jadi kita hanya sensor untuk bagian yang visual? Tidak ada sensor auditif’?” tanya Niniek suatu kali kepada sejawatnya sesama anggota badan sensor.

“Ya, memangnya kenapa, bu,” jawab sang rekan seraya bertanya balik.

“Itu kan anak saya jadi meniru-niru ucapan ‘fuck you’ seperti yang dilihatnya di tv,” tukasnya.

“Ah, itu sih anak ibu aja kali. Anak lain kan nggak seperti itu,” balas sang rekan lagi.

Setelah mendapatkan jawaban demikian semakin bulat tekad Niniek untuk mundur dari institusi tersebut. 


20 Agustus 2016