Jumat, 29 Juli 2016

Kita Ganti Nama Sutradaranya






Yang satu ini cerita dari para pemain film Comic 8. Sebetulnya mereka memang bukan aktor, melainkan para comic alias stand up comedian atau pelawak tunggal. Karena kejenakaannya produser Falcon Pictures mengajak mereka berdelapan tampil bareng dalam sebuah film. Proyek ini bergenre action komedi dan disutradarai oleh Anggy Umbara.

Pertengahan Desember 2013 mereka berkunjung ke sejumlah media dalam rangka promosi filmnya. Kantor saya kebagian juga masuk dalam agenda mereka. Pagi itu, tampak muncul duluan ada Ernest Prakasa, Babe Cabiita, dan Fico Fachriza. Saya sendiri yang kebagian jaga gawang mengajak mereka masuk. Sejurus kemudian saya ajak mereka ngobrol sambil melakukan wawancara.

Konon skenario filmnya sudah ada dan ditulis oleh Fajar Umbara. Namun tetap saja mereka diberi kebebasan oleh Anggy Umbara untuk menambahkan improvisasi seperlunya di lapangan. Ya, biar tidak kaku-kaku amat.

“Kalian kan sudah jago improvisasi ya. Apakah setiap kali pengambilan gambar selalu one take ok?,” tanya saya memulai percakapan.

“Justru itu. Sutradara kita selalu mengambil gambar dari banyak angle. Saking seringnya begitu, ya kita ganti aja namanya menjadi Angle Umbara,” sambar Fico seraya mengeluarkan jurus stand up comedynya.

Kami yang ada di ruangan itu jadi tertawa dibuatnya.


  
Desember 2013

Minggu, 24 Juli 2016

Siapa Sutradaranya?



Akhir Juli, selepas shalat Jumat digelar acara peluncuran buku fiksi di toko buku Gramedia Matraman, Jakarta Timur. Novel setebal 600 halaman itu berjudul Triangle The Dark Side yang ditulis oleh Damien Dematra. Ini merupakan adaptasi dari cerita film bertajuk serupa karya Ian Nguyen Lampa dan Deddy Corbuzier.

Sebenarnya acara dimulai pukul 2 siang. Namun sudah sejam berlalu belum ada tanda-tanda akan dibuka, padahal para peliput sudah tampak gelisah. Alasan klasik dari panitia: narasumber Deddy Corbuzier cs belum tampak satu pun di lokasi. Maklum, hujan lebat baru saja melanda ibukota. Bisa jadi mereka masih terjebak dengan kemacetan di jalan.  

Sambil menanti para pembicara panitia memutarkan trailer film tersebut. Iseng-iseng sambil membunuh rasa bosan saya menyimak dengan serius. Tiba-tiba dari samping, seorang kolega wartawan,  Ahmad Sekhu mencolek saya dan bertanya,”Ayo tebak, siapa sutradara film ini?”

“Wah, itu ada namanya: Ian Nguyen kan…,” jawab saya asal.

“Bukan. Nayato,” balas sang rekan singkat.

“Hah? Kok bisa tahu. Bagaimana caranya…,” tanya saya penasaran.

“Itu ada di foto BTS,” tuturnya.

Ternyata dia benar. Ada sosok sineas Nayato Fio Nuala dalam salah satu foto yang diputar lewat video tersebut. Tumben dia mau muncul. Padahal setiap kali ada kesempatan ngobrol dia selalu menolak keras jika hendak dipotret.  



24 Juli 2016 

Selasa, 19 Juli 2016

Cari Saja di Mesjid



Sutradara Hanung Bramantyo sudah berkali-kali membuat film biografi (lebih dikenal dengan biopic) dari tokoh-tokoh besar Indonesia. Mulai dari riwayat KH Ahmad Dahlan, Soekarno, hingga yang baru diputar saat lebaran BJ Habibie. Setelah sempat tertunda, Hanung mulai menyiapkan proyek biopic terbarunya. Kali ini mengenai kisah pahlawan emansipasi asal Jepara, Kartini.

“Bicara tentang film biopic adalah bicara soal subjektivitas. Di sana tidak ada perkara benar atau salah,” tuturnya ketika memperkenalkan film ini kepada wartawan di lounge Djakarta Theater XXI, 14 Juli 2016.

Rupanya lelaki asal Yogyakarta ini masih merasa trauma atas peristiwa yang dialami filmnya Sang Pencerah saat pengumuman Festival Film Indonesia 2010. Ketika itu Komite Seleksi FFI tidak meloloskan filmnya masuk daftar nominasi lantaran dianggap kurang akurat. Alhasil, film tentang tokoh pendiri Muhammadiyah itu mesti kandas di babak awal.  

“Subjektivitas seharusnya dilawan dengan subjektivitas yang lain,” komentarnya dengan wajah serius. “Kalau mau mencari mana yang benar atau salah, sebaiknya cari di mesjid saja…”


18 Juli 2016

Selasa, 12 Juli 2016

Dipaksa Harus Beli Tiket



Ada cerita tercecer dari Festival Film Fantasi Puchon (PiFan) 2011. Kejadian ini dialami oleh aktris Cathy Sharon seperti dituturkan oleh produser Vera Lasut. Mereka berangkat ke negeri ginseng Juli 2011 dalam rangka premiere filmnya di sana yang bertajuk The Perfect House.

Jadi ceritanya setibanya mereka di lokasi ID card belum tersedia. Rupanya persiapan panitia setempat masih kurang rapi. Kondisi ini menjadi lebih parah lagi, lantaran banyak dari panitia yang tak paham bahasa Inggris. Maka komunikasi pun dilakukan dalam bahasa Tarzan. Tunggu punya tunggu, hingga sesaat sebelum pemutaran film dimulai kartu identitas itu masih belum bisa diperoleh.

Nah, yang bikin repot, orang Korea sendiri dikenal disiplin. Mereka tak akan mengizinkan siapapun masuk bioskop Primus Cinema Sopong tanpa tiket atau tanda pengenal. Akhirnya, terpaksa Vera dan Cathy masuk ruang pertunjukan dengan membeli tiket seharga 4000 won (atau sekitar Rp 32.000).

Bukan nilai uang itu yang menjadi keberatan keduanya saat itu. Masalahnya, ini film hasil keringat mereka. Jelas-jelas milik mereka. “Gila ya... Ini kan premiere film gue. Kok malah beli tiket ya'," ucap Vera menirukan kata-kata Cathy yang menahan rasa keki.



Juli 2011

Jumat, 08 Juli 2016

Rahasia di Balik Suara Azan



Di tengah maraknya produksi film Indonesia, ada pula yang merupakan hasil kerjasama dengan produser dari mancanegara. Salah satunya adalah The Killers, arahan Kimo Stamboel dan Timothy Tjahjanto alias Mo Brothers. Ini merupakan proyek kolaborasi antara Guerilla Merah Films dengan Nikkatsu dari Jepang. Awal 2014, film ini diputar di bioskop tanah air.

Bulan Februari diadakan konferensi pers film ini di sebuah hotel dekat Sarinah Thamrin. Rupanya pada kesempatan itu diputar pula teaser trailernya di hadapan wartawan dan dibuat dalam beberapa versi, kemudian dilanjutkan dengan sesi tanya jawab. Ada-ada saja pertanyaan mereka.  

“Itu kenapa ada adegan yang memunculkan suara azan? Apakah film ini coba dimaksudkan untuk menjadi film religi?” demikian tanya salah satunya.

“Begini, itu dimaksudkan sebagai penanda kota. Kota Tokyo misalnya, suara yang khas di sana itu bunyi kereta atau burung gagak. Nah, apa yang kira-kira lekat dengan kota Jakarta? Ya, suara azan inilah,” demikian tutur Timothy Tjahjanto kalem.

Eh, tiba-tiba dia meneruskan kalimatnya,”Sebenarnya di lapangan itu ada suara Kimo sih lagi teriak ‘cut…cut…cut’. Bocor kan. Ya, terus kita tutup aja pakai suara azan…”



Februari 2014