Kamis, 28 Februari 2019

Indonesia Bubar



Produser Hollywood beken Mario Kassar ikutan berkiprah di film Indonesia. Dia menjadi produser eksekutif dari film laga yang bertajuk Foxtrot Six dan disutradarai oleh sineas pendatang baru Randy Korompis. Mengingat ada nama besar Kassar di sana, tentu saja film ini terasa prestisius. Dana produksi yang disiapkan pun tak tanggung-tanggung, jumlahnya sekitar 5 juta dollar atau kalau dalam rupiah sekitar 70 miliar.

Angka tersebut memang masuk akal. Biasanya film laga butuh biaya besar untuk mewujudkannya. Sebut saja untuk adegan tembak-tembakan, kebut-kebutan, hingga efek visual. Bintang yang dipakai pun punya nama besar, mulai dari Oka Antara, Chicco Jerikho, Rio Dewanto, Arifin Putra, hingga Julie Estelle. Mereka siap untuk berkelahi habis-habisan di depan kamera.

Saat menyaksikan filmnya, terasa penggarapannya sudah cukup baik, meskipun tidak sempurna-sempurna amat eksekusinya. Namun ada satu hal yang terasa mengganjal di dalam benak: penggunaan bahasa Inggris untuk dialog di filmnya. Rata-rata bagi pemain yang terlibat ini baru pertama kali dan terkesan dipaksakan.

Dalam perkara penggunaan bahasa Inggris ini, Korompis sebagai penulis skenario sebenarnya tidak keliru-keliru amat. Pasalnya, dia hanya menggenapi ramalan capres Prabowo Subianto yang pernah menyebutkan Indonesia pada tahun 2030 akan bubar. Pernyataan itu dilontarkannya kepada kader Gerindra, di Bogor bulan Oktober 2017.

Setting cerita F6 sendiri terjadi di Indonesia tahun 2031. Kondisi di sana digambarkan kacau balau, lantaran baru saja terjadi kudeta terhadap pemerintahan yang demokratis. Kendati rakyat hidup susah, uniknya mereka tetap memakai bahasa Inggris dalam percakapan sehari-hari.    

Di sinilah letak keunikannya. Prabowo meramalkan Indonesia bubar pada tahun 2030. Korompis bercerita kondisi Indonesia pada tahun 2031 yang rakyatnya pandai berbahasa Inggris. Indonesia yang sudah tak lagi menjunjung tinggi bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Nah, kalau merujuk pada Sumpah Pemuda 1928, Korompis menyodorkan gagasan Indonesia yang jauh sudah berbeda. Bisa jadi pernyataan Prabowo ada benarnya kalau Indonesia bubar dalam film itu. Mungkin kebetulan saja sih.


28 Februari 2019

Kamis, 24 Januari 2019

Pelajaran Matematika


Yayu Unru adalah salah satu aktor kuat di negeri ini selama beberapa tahun terakhir. Namanya selalu tercatat dalam nominasi di berbagai festival film tanah air. Bahkan, dua piala Citra sukses diraihnya untuk kategori Pemeran Pendukung Pria Terbaik, masing-masing untuk film Tabula Rasa (2014) dan Posesif (2017).

Namun pria kelahiran Makassar tidak lantas berpuas diri. Setiap peran yang diterimanya selalu dikerjakan dengan sebaik-baiknya. Terakhir dia kembali mencetak prestasi lagi dalam ajang Festival Film Tempo 2018. Di sana Yayu diganjar sebagai Aktor Pendukung Pilihan lewat permainannya dalam film Menunggu Pagi.

Di bawah arahan sutradara Teddy Soeriaatmadja, Yayu bermain gemilang sebagai seorang bandar narkoba. Adegan yang dia mainkan memang terhitung singkat. Justru dengan tempo yang sesingkat-singkatnya dia mampu menunjukkan performa sebagai sosok yang bengis di balik penampilan santainya. Alhasil, dewan juri sepakat memenangkannya menyisihkan nama lainnya seperti Verdi Solaiman, Nicholas Saputra, dan Rianto.

Awal Desember 2018, digelar malam penghargaan di Epicentrum XXI, Kuningan, Jakarta Selatan. Usai namanya disebutkan sebagai pemenang, naiklah Yayu ke atas podium untuk menerima piala dan memberikan sambutan.

“Terima kasih kepada sutradara saya Teddy, yang memberikan saya pelajaran matematika. Dia suka bilang turunin 25 persen. Naik lagi 5 persen... untuk kadar akting saya,” tuturnya yang langsung disambut gergeran para hadirin.
  


 10 Desember 2018

Minggu, 23 Desember 2018

Ambil yang Bagus-bagus


Kasus video porno yang menimpa musisi Ariel Peterpan pertengahan tahun 2010 membuat publik terhenyak. Namun bagi kalangan pers, kabar macam begini justru ini menjadi amunisi yang menarik. Siapa saja bisa menjadi narasumber untuk ditanya berkaitan dengan kasus ini. Wabil khusus para selebritas.

Salah satu sosok yang dianggap pas adalah Roy Marten. Aktor senior ini nongol lagi setelah sekian lama dibui karena terlibat kasus narkoba. Lantaran pernah tersangkut kasus hukum ini, Roy cukup valid untuk dijadikan rujukan atas kasus Ariel tersebut. 

Pria asal Salatiga ini muncul dalam rangka syukuran film horor bertajuk Selimut Berdarah, pada pertengahan Juli 2010. Tampak hadir para pemain macam Enno Lerian dan Pingkan Mambo. Namun kehadiran sang aktor legendaris di restoran Planet Hollywood ini kontan membuatnya dikerubungi wartawan dan menodong pertanyaan.


“Jadi bagaimana kasus Ariel ini di mata om Roy?“ tanya salah satunya.  


“Ah, yang dilakukan Ariel bukan kejahatan kok. Itu hanya kenakalan,” seloroh Roy kalem.

“Lantas, kenapa harus dikurung?” sambar wartawan yang lain tak kalah lincahnya.

“Soalnya kan dia ambil yang bagus-bagusnya...,” ucap Roy penuh makna. 

Ucapan ini langsung disambut tawa terbahak-bahak dari mereka yang hadir. 



25 Juli 2010

Sabtu, 24 November 2018

Minta Izin Ganti Judul



Selain menjalankan fungsi sebagai eksibitor film, Blitz CGV (kini namanya menjadi CGV saja) juga menjadi distributor film. Awak mereka kerap berbelanja film-film yang menurut mereka menarik untuk dinikmati penonton tanah air. Tak heran jika perusahaan tersebut kerap mengirim programernya ke sejumlah pasar film mancanegara seperti Cannes atau Hong Kong misalnya.

Salah satu programer menuturkan pengalaman unik saat membeli film horor asal Jerman bertajuk Untot. “Ini proyek menarik karena dibintangi oleh Hayden Christensen,” tutur sang programer memulai ceritanya.

Sementara penulis skenario dan sutradara dirangkap oleh Kris Renkewitz. “Keunikan film ini karena terinspirasi oleh kisah nyata pada era Perang Dunia II, kemudian dikemas dalam genre horor,” kata sang rekan lagi.

Untuk perkara cerita dan pemain tidak ada masalah. Ya, cukup layak juallah. Apalagi film horor punya penggemar yang cukup kuat di sini. Namun yang membuat sang rekan pusing tujuh keliling adalah perkara judulnya. Alhasil, kepada sales agent film ini dia minta izin agar diperbolehkan untuk ganti judul.

“Bisa nggak kita pakai judul Undead aja. Jangan Untot deh... Maknanya kan tetap sama,” kisahnya dalam sebuah meeting di lounge Blitz Plaza Indonesia awal Januari 2017.

“Sebaiknya sih jangan ya... Memangnya ada apa?” tanya sang penjual film.

“Iya. Soalnya judul Untot kurang sedap di telinga. Kata itu dalam bahasa Indonesia artinya make love...” tukas sang programer memohon.

“Hah...”


5 Januari 2017